Kamis, 06 Desember 2012

Ternyata Manusia Purba Kuasai Teknologi Rumit

detail berita

WASHINGTON - Manusia purba telah mengenal adanya teknologi yang kompleks untuk berburu dan mencari makanan. Ini terbukti melalui temuan pisau batu dengan panjang tidak lebih dari tiga centimeter, yang digunakan sebagai tombak atau senjata mutakhir di kala itu.

Dilansir Deccanherald, Selasa (20/11/2012), ilmuwan menemukan 27 pisau batu dari gua di Afrika Selatan. Perkakas yang ditemukan ini mengungkap bahwa manusia purba di 70 ribu tahun lalu telah menguasai teknologi rumit.

Curtis Marean, arkeolog di Arizona State University mengatakan, alat-alat ini digunakan baik untuk berburu atau digunakan sebagai senjata mematikan. Pisau batu ini dinamakan microliths oleh arkeolog, dan ditemukan di lapisan pasir dan tanah.

Pisau batu ini diyakini berusia sekira 71 ribu tahun lalu. Pisau batu ini juga merepresentasikan teknologi rumit yang terus dikembangkan dalam jangka waktu 11 ribu tahun. Ini menunjukkan, lamanya waktu yang diperlukan untuk memproduksi pisau tersebut.

Temuan ini juga mengungkapkan gagasan bahwa manusia purba mampu menyampaikan ide-ide cerdas mereka ke generasi pengrajin berikutnya. Sehingga, mampu menciptakan teknologi kompleks yang bertahan dari waktu ke waktu.

John Shea, paleoantropolog dari Stony Brook University di New York mengatakan, temuan pisau batu ini juga menegaskan bahwa hipotesis sebelumnya yang menyebutkan manusia purba Homo Sapiens itu jauh dari kata "modern" adalah penilaian yang salah.

Ilmuwan Ungkap Misteri Punahnya Badak Berbulu


detail berita

MOSKWA - Ilmuwan dari Russian Academy of Sciences di Yakutsk, Rusia, mengungkap rahasia badak purba berbulu yang pernah hidup puluhan ribu tahun lalu. Salah satu temuan mereka ialah sebab kepunahan hewan bercula dua tersebut yang diakibatkan suhu ekstrim.

Dilansir BBC, Jumat (7/12/2012), tubuh badak berbulu yang diawetkan telah memberi wawasan baru terkait bagaimana hewan bertubuh tambun itu bisa punah. Badak berbulu dahulu merupakan mamalia besar yang paling banyak tinggal di Eurasia, namun hanya beberapa bangkai yang telah ditemukan, kemudian diawetkan.

Kini, analisis badak berbulu betina yang ditemukan dan diawetkan di Siberia, mengungkap bahwa hewan tersebut merupakan jenis pemakan tumbuhan (herbivora). Ukurannya pun sama dengan Badak Jawa saat ini.

Hewan purba ini memiliki ekor gemuk pendek dan sepasang telinga. Hewan ini kemungkinan punah karena disebabkan ketidakmampuan untuk bertahan dalam badai salju, sebagai imbas perubahan iklim.

Temuan ini telah dilaporkan dalam jurnal Biology Bulletin. Badak berbulu (Coelodonta antiquitatis) telah ditemukan di wilayah Eurasia, yakni dari Inggris di barat hingga ke Chukotka dan Kamchatka di bagian timur Rusia.

Kerangka tulang keseluruhan dari hewan ini hanya sedikit yang ditemukan dan hanya empat bangkai yang utuh. Temuan tersebut termasuk jaringan lunak hewan serta tulang-tulang.

Meskipun demikian, ilmuwan tetap dapat menentukan bahwa badak berbulu memiliki tubuh yang panjang dan empat kaki yang pendek. Selain itu, ilmuwan juga menentukan bahwa hewan yang pernah hidup sekira 39.000 tahun lalu itu memiliki dua tanduk di depan serta kulit yang tipis yang dilapisi oleh mantel bulu tebal.

Studi yang dilakukan peneliti asal Rusia ini juga mengungkap bahwa badak purba tersebut memiliki warna bulu cokelat. Hewan masa lampau ini juga bergerak dengan lambat, sebab mereka diduga memiliki berat sekira 1,5 ton dengan dimensi ukuran tubuh persis badak Jawa Modern.

Dengan berat tubuh tersebut, badak ini akan memberikan tekanan pada dasar permukaan tanah sebesar 1,8 kilogram per sentimeter persegi. Angka ini lebih dari tiga kali lipat dari rusa modern.

Tidak hanya itu, ilmuwan juga mengungkap bahwa badak berbulu betina ini memiliki dua puting susu. Sehingga, hewan ini kemungkinan mampu melahirkan satu atau terkadang dua anak badak.

Rabu, 05 Desember 2012

Bintang di Langit Berjumlah 300 Sextilion

detail berita

WASHINGTON - Alam semesta mungkin akan lebih terang dengan adanya bintang-bintang yang jauh lebih banyak. Bahkan astronom ternama Carl Sagan menggambarkan jumlah bintang yang bermiliar-miliar.

Sebuah studi baru menunjukkan jika jumlah bintang di alam semesta mencapai 300 sextilion. Angka tersebut sama dengan tiga kali lebih banyak dari jumlah yang diprediksi ilmuwan sebelumnya. Penulisan 300 Setilion adalah angka 3 yang diikuti oleh 23 angka nol. Sama saja dengan 3 triliun di kali 100 miliar.

Estimasi, yang disebutkan dalam sebuah studi yang dipublikasikan secara online di sebuah jurnal Nature, didasari oleh penemuan banyaknya bintang berukuran kecil dan berwarna merah. Bintang jenis tersebut merupakan yang palilng umum di alam semesta. Bahkan angkanya lebih banyak ketimbang yang selama ini diprediksi oleh para astronom.

Ternyata penelitian yang dilakukan astronom terdahulu tidak sama dengan saat ini. Penelitian oleh astronom Yale University, Pieter van Dokkum, bersama astrofisikawan Harvard, Charlie Conroy, mempertanyakan asumsi penting yang selalu digunakan astronom zaman dulu. Astronom terdahulu menganggap jika kebanyakan galaksi memiliki sifat yang sama dengan Bima Sakti kita.

Kesimpulan tersebut ternyata sangat mengganggu para astronom, yang menginginkan pola kosmos yang lebih teratur. Akhirnya disimpulkanlah jika jumlah bintang di langit ternyata lebih banyak 3 kali lipat dibanding asumsi sebelumnya.

"Ketika para ilmuwan sebelumnya memperkirakan jumlah bintang, mereka menganggap bahwa semua galaksi memiliki rasio yang sama dari bintang-bintang kerdil sebagai Bima Sakti, yang berbentuk spiral," ujar van Dokkum, seperti dilansir melalui Straits Times, Kamis (2/12/2010).

Fenomena Matahari Halo Sambangi Yogya

detail berita

GUNUNGKIDUL - Warga Yogya sempat heboh dalam beberapa menit lalu. Sebuah pemandangan matahari yang tidak biasa menghiasi lagit Yogya dan sekitarnya.

Ditengah cuaca yang cukup cerah, Selasa (4/1/2011), warga Yogya dan sekitarnya, termasuk di wilayah Gunungkidul melihat matahari dikelilingi oleh kabut warna warni, mirip sebuah cincin pelangi.

"Matahari ada cicinnya. Wah ada apalagi ini?" kata Frans Edi salah seorang pegawai Diskominfo Gunungkidul yang terperangah dengan pemandangan tersebut.

Sementara itu warga masyarakat di kota Wonosari tidak sedikit yang mengabadikan melalui kamera, yang kebanyakan berasal dari kamera di telepon seluler. Bahkan ada sebagian yang rela berpanas-panasan untuk berfoto.

Tidak sedikit masyarakat yang melihat sebagai tanda alam akan datangnya bencana.

"Saya baru pertama kali ini melihat. Ini peristiwa yang jarang terjadi. Mungkin ini pertanda alam akan terjadinya bencan," kata gunawan sambil berfoto.

Namun begitu, tidak banyak warga yang menilai hal ini dengan positif. Bahkan menganggap pemandangan ini sebagai kebesaran tuhan.

"Lihatlah kebesaran tuhan lewat fenomena alam berupa matahari dilingkari pelangi," tulis SMS seorang warga Yogya kepada okezone.

Fenomena ini disebut dengan Halo, sebuah fenomena optik yang terbentuk dari hasil pembelokan cahaya Matahari oleh partikel uap air di atmosfer.

Dikutip melalui situs NASA, fenomena Halo terjadi karena saat musim sebagian partikel uap air naik ke atmosfer dan memiliki kemampuan untuk membiaskan cahaya yang dikeluarkan matahari. Fenomena ini hampir sama dengan proses pembentukan pelangi yang datang setelah hujan turun. Tidak heran jika kemudian lingkaran itu mengeluarkan cahaya warna-warni seperti pelangi dengan lingkaran gelap di sekeliling matahari akibat matahari berada tegak lurus dengan bumi.

Fenomena ini terjadi tidak terlalu lama. Hingga kini dikabarkan cincin yang mengitari matahari itu sudah menghilang dan pemandangan matahari kembali normal.

Black Hole Raksasa Ditemukan di Galaksi Tetangga

WASHINGTON - Ahli astronomi Amerika Serikat (AS) menemukan black hole raksasa, setidaknya satu juta kali lebih besar daripada massa matahari, di sebuah galaksi dekat bumi bernama Henize 2-10.

Pengumuman itu diutarakan Perkumpulan Astronomi Amerika (AAS), yang menyebut penemuan mengejutkan ini memberikan bukti baru bahwa black hole terjadi sebelum terbentuknya galaksi, demikian dilansir Straits Times, Selasa (11/1/2011).

"Galaksi ini memberikan kami petunjuk penting tentang fase awal evolusi galaksi  yang belum pernah diobservasi sebelumnya," ujar Dr Amy Reines, seorang peneliti di Universitas Virginia, yang mempresentasikan hasil penemuan itu di hadapan AAS.

Henize 2-10 berjarak sekira 30 juta tahun cahaya dari bumi dan telah dipelajari oleh para ahli astronomi selama bertahun-tahun. Mereka menilai, Henize 2-10 merepresentasikan galaksi-galaksi pertama yang terbentuk di alam semesta.

Dr Reines mengamati Henize 2-10 bersama Dr Gregory Sivakoff dari Universitas Virginia serta Dr Kelsey Johnson dan Dr Crystal Brogan dari Observasi Astronomi Radio Nasional. Mereka menemukan sebuah wilayah dekat pusat galaksi yang memancarkan gelombang radio dengan karakteristik serupa seperti muntahan material pesawat jet dari area yang dekat dengan black hole tersebut.

Mereka kemudian mencari image dari Observasi X-Ray Chandra dan mendapatkan hasil yang sama, sebuah wilayah terang dengan pancaran energi X-Ray kuat. Kombinasi ini mengindikasikan adanya nukleus aktif yang memperoleh daya dari black hole.

Astronom: Alien Itu Tidak Ada

detail berita

WASHINGTON - Seorang astronom meyakini bahwa mahluk hidup hanya ada di bumi. Tidak ada lagi mahluk lain di yang hidup di alam semesta ini, kecuali di bumi.

Klaim tersebut sedikit banyak membuat kesal para pro-alien dan mereka yang bermimpi telah bertemu dengan mahluk planet lain yang diduga lebih pintar ketimbang manusia.

"Kami telah menemukan, kebanyakan planet lain dan sistem tata surya di luar bumi jauh lebih liar dan berbeda dibanding tempat tinggal kita saat ini," ujar ahli astrofisika senior dari Harvard University, Howard Smith, seperti dikutip melalui Straits Times, Selasa (25/1/2011).

Menurut Smith, ahli astronomi, sejauh ini telah menemukan total 500 planet sepanjang jajaran tata surya. Bahkan angka itu akan berkembang menjadi miliaran planet lain yang belum terlihat.

Selain itu, lanjut Smith, kebanyakan planet ini memiliki jarak yang terlalu dekat atau terlalu jauh dengan matahari. Artinya, jarak matahari cukup berpengaruh terhadap suhu udara yang akan mendukung kehidupan mereka. Bahkan planet lainnya memiliki orbit yang tidak biasa, yang menyebabkan variasi temperatur yang lebih luas. Hal ini otomatis tidak memungkinkan adanya air.

"Hanya sedikit tata surya atau planet yang mirip dengan bumi. Artinya sangat kecil kemungkinan adanya mahluk planet dengan kecerdasan yang sama mampu membuat kontak dengan kita," ujar Smith.

Pernyataan astronom ini cukup kontroversial dengan pendapat ahli lainnya. Bahkan Stephen Hawking pernah mengatakan ada miliaran galaksi yang memungkinkan adanya bentuk kehidupan lain di alam semesta. Peneliti dari University of London pun mengatakan bahwa kemungkinan Alien hidup di sekira 40.000 planet lain di alam semesta.

Astronom Dapatkan Gambar Pembentukan Planet

detail berita

HONOLULU - Para Astronom telah berhasil menangkap gambar dari sebuah planet yang baru lahir.

Adam Kraus dari University of Hawaii's Institute for Astronomy, mengatakan bahwa planet tersebut terbentuk dari debu dan gas yang mengelilingi sebuah bintang berusia 2 juta tahun, sekira 450 tahun cahaya dari bumi.

Seperti dilansir News Yahoo, Jumat (21/10/2011), planet tersebut, didasarkan pada model ilmiah tentang bagaimana planet-planet terbentuk. Diperkirakan telah mulai membuat bentuknya sekitar 50 ribu sampai 100 ribu tahun yang lalu.

Diberi nama LkCa 15 b, planet itu merupakan planet termuda yang pernah diamati, sedangkan pemegang rekor sebelumnya sekira lima tahun lebih tua.

Krau dan rekannya Micheal Ireland, dari Macquarie University and the Australian Astronomical Observatory, menggunakan teleskop Keck di Mauna Kea untuk menemukan planet ini.

"Kami menangkap obyek ini pada waktu yang sempurna. Kita milihat bintang muda ini, memiliki piringan disekitar planet, yang mungkin terbentuk dari itu dan kami melihat sesuatu yang ada tepat ditengah-tengah piringan itu," kata Kraus.

Kraus mempresentasikan penemuannya di NASA's Goddard Space Flight Center di Maryland pada hari Rabu. Makalah mengenai penemuan penelitian Kraus dan Ireland akan segera muncul di The Astrophysical Journal.